Berita

Mendikbud Nafsu Penuhi Kebutuhan Industri, Pengamat: Prodi Teoritis Dikemanakan?

Jumat, 07 Februari 2020 / Berita

      -  05 Feb 2020, 18:43 WIB

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat rapat dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019). Rapat membahas penghapusan Ujian Nasional (UN) pada 2021 dan sistem zonasi. (Liputan6.com/Johan Tallo)


Liputan6.com, Jakarta Hasrat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim untuk mengawinkan dunia pendidikan dengan industri dimanifestasi dalam kebijakan Kampus Merdeka.

Bahkan secara tegas, mantan Bos Gojek itu mendengungkan perkawinan massal keduanya dalam bingkai Kampus Merdeka.

Pemerhati pendidikan, Nanang Martono mempertanyakan aplikasi konsep ini dalam ilmu-ilmu yang memang menuntut teoritis.

"Secara praktis konsep (Kampus Merdeka) masih sulit dilakukan, terutama untuk program studi dengan disiplin ilmu murni, seperti matematika, biologi, sosiologi, ilmu politik, dan lainnya yang tujuan pembelajarannyanya mengarah pada pengembangan keilmuan, bukan pengembangan keterampilan kerja," kata Nanang kepada Liputan6.com, Jakarta, Minggu (5/2/2020).

Jebolan Doktoral Sosiologi Pendidikan di Université de Lyon, Prancis itu menilai kuliah tujuh semester saja mahasiswa kadang tidak memahami konsep-konsep atau teori-teori dasar. Apalagi kalau waktu belajar mahasiswa dipotong satu atau dua semester untuk mencari pengalaman di luar kampus.

"Untuk prodi-prodi ilmu terapan, ide tersebut sangat sesuai ketika pengalaman atau kecakapan kerja atau praktik menjadi kunci utama kompetensi lulusannya," jelas pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu.

Selain itu, Nanang juga mengkritisi konsep itu karena tidak mengakomodir strategi perluasan akses pendidikan bagi masyarakat kelas bawah.

"Kampus Merdeka secara eksplisit hanya menyinggung masalah format belajar di PT (perguruan tinggi), yang diklaim Mendikbud menjadi lebih fleksibel karena mahasiswa menjadi lebih bebas belajar di kampus," terang dia.

Kurangi Akses Masyarakat
Kebijakan membadanhukumkan (BH) PTN, jelas Nanang juga akan mengurangi akses masyarakat kelas bawah untuk berkuliah. Pasalnya status PTN-BHBH akan memberikan peluang kepada setiap kampus untuk mengatur kebijakan internal secara mandiri, termasuk dalam masalah keuangan.

"Sehingga kampus pun bebas menentukan besaran uang kuliah tunggal atau UKT yang wajib dibayar mahasiswanya," beber dia.

Perlu diketahui, UKT merupakan besaran biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa pada setiap semester yang bergantung pada beberapa indikator, misalnya pendapatan orang tua.

Jika seperti itu, penulis Sekolah Publik vs Sekolah Privat itu mengkhawatirkan akan dampak yang ditimbulkan, yakni semua kampus berangsur-angsur menaikkan UKT-nya.

"Sehingga mahasiswa dari kelas bawah akan semakin sulit masuk ke PTN yang sudah berstatus BH," kata dia menjelaskan.

Di samping itu, kebijakan ini ditakutkan juga akan meningkatkan kompetisi antarkampus yang dalam jangka panjang dapat menciptakan kompetisi yang tidak sehat antarkampus.

"Yang dirugikan tentu saja adalah masyarakat kelas bawah," ujarnya.

    Kirim Komentar

    © Copyright SISKOLA 2022 - All Rights Reserved. Designed and Developed by Developed by Citraweb

    customization